Telusuri Semua Hal

Minggu, 19 Februari 2012

Yesusku! Iblis Menang Bersama Tangisannya

Puaskah dirimu dalam menilai diriku yang selalu berlaku bodoh dihadapan ketampanan perilakumu? Apakah kau mau agar aku menelanjangi semua kemurnianku yang terselubung? Apakah kau mau agar aku mengeluarkan semua kemampuanku yang kampungan ini, sehingga kau menikmatinya dengan kebingunganmu? Aku selalu bertanya pada dirimu lewat tingkah anehku namun kau sulit untuk mengerti, kau mungkin sudah sempat menangkap beberapa kejujuranku tapi kenapa kau belum menerima itu sebagai kenikmatan sejati dari sebuah kepuasan?
Para bayi yang masih menyusu telah paham dengan gerakan tanpa suara yang aku pemerkan di depan tampang mereka, namun kau yang sudah mendewasakan diri dengan kemauanmu sendiri, masih juga tak paham dengan ungkapanku yang semakin kegilaan! Haruskah aku meludahi kerongkonganmu dengan metafora-metaforaku? Haruskah aku mencaci dirimu dengan makian yang tak ada bedanya? Maukah dirimu, aku baringkan bersama dosa-dosaku yang aku hendak bentangkan di alas bumi?

Aku mau agar kau menjadi seorang budak sejati seperti diriku sebelum kau menikmati kecerahan dari khayalmu. Aku selalu berdoa dengan penuh semangat agar kekanak-kanakanmu menghilang demi kepentingan manusia sederhana lainnya. Aku selalu menunjukan padamu arti kebenaran berperilaku, meski aku bukanlah pakarnya. Kesopanan yang aku mainkan, kau anggap itu sebagai kejahatan dari penipuanku, namun kejujuran kekanak-kanakkanmu yang menyilaukan mataku sangat aku sedihkan dalam tangisku demi sesamaku. Kau tak akan pernah berhasil dalam caramu meski kau berulang kali melakoninya, sebab lakonanmu adalah salinan-salinan yang pernah aku buang dari arsip-arsip tak terpakaiku.

”Kau hanyalah iblis yang dipakai agar melemahkan niat imanku, kau hanyalah manusia lemah seperti diriku namun kau berlagak kuat di tatapanku. Aku memang bodoh ketika bersamamu dalam kamarmu tetapi aku tak bermegah bila aku dan kau bertarung di kamar orang. Karena aku tahu kekuatanmu yang sangat luar biasa, dan aku hendak menyadari bila nanti aku menikmati kemenanganku sebelum bertarung. Aku sangat menyayangi kemanusiawianmu namun kemunafikan akhlakmu sangat aku benci bahkan aku semakin beria-ria untuk mencabutnya dari kemanusiaanmu. Aku telah kalah oleh si iblis dan aku tak menyalahkanmu, sebab kau pun sama lemahnya dalam alam sejenak ini. (bagi manusia yang di pakai iblis)”.

Aku tak mengharapkan kepalsuan dirimu wahai iblis; yang berpura-pura namun hendak mencelakakanku kelak, aku tahu sebelum aku terlahir di dunia ini. Aku selalu mengampuni kesalahanmu yang kau mainkan bersama kelemahan imanku, karena aku bukan seperti yang kau tahu. Meskipun kau telah mempelajari kelemahlembutan dan keganasan dalam darahku sejak aku di kandung ibuku, aku pun tahu dirimu sejak aku diutus ke bumi ini. Dan perbedaan waktu antara kita berdua adalah bukti bahwa aku berbeda dari dirimu, wahai iblis bertopeng kemanusiaan. Aku tahu dan yakin bahwa kau telah menang oleh ketekunanmu dalam proses menghancurkanku, aku berusaha untuk menyadari itu; dan itu sudah sangat cukup ampuh untuk manusia lemah seperti diriku. Aku pun sudah mengakuinya di hadapan Penciptaku melalui lembaran-lembaran doa yang tak henti aku lemparkan padaNYA di sorga sana. Aku tahu bahwa aku lemah oleh diriku sendiri, tanpa penyertaan manusia lainnya. Aku menang oleh Yesusku dan aku kalah oleh diriku sendiri. Jadi, aku akan meraih kemenangku sekali lagi meski nantinya mungkin aku terpelanting lagi. Karena aku tahu jelas bahwa kau bertarung denganku; lalu menang, agar kau dipuji-puja oleh pemimpinmu, aku pun akan melakukan hal yang sama namun aku tak butuh pujian dari Yesusku sebab Dialah pujianku.

Kepuasanmu yang kau nikmati hanya membuatmu berkekurangan, kenikmatan yang kau dapatkan setelah menjatuhkanku menghasilkan tangisanmu yang tak sederhana. Aku sempat mengasihanimu dengan rasa iba yang mendalam, namun aku tahu latar belakangmu. Aku pun sudah memaksa Yesusku untuk mengampunimu, air matamu yang palsu membuatku terperangah dan menyadari bahwa kaulah penipu sejati yang melagukan pujian omong kosong di jiwaku selama ini. Kau menangis sampai tersedu-sedu demi memaksaku bekerja sama kembali. Kau seolah-olah melupakan kejahatanmu yang lampau pada diriku. Kau seakan-akan meniadakan kemunafikan dari kebusukan rencanamu yang selama ini kau bumbui dengan taburan-taburan mematikan dalam hidupku.

Kau akan mengerti dengan kelemahanku yang mulai tegak bak bunga-bungaan yang tersengat mentari di pagi hari. Kau akan mencari mangsa lainya namun aku pun akan mencari dirimu dalam diri mereka; karena aku datang padamu bukanlah untuk membunuhmu melainkan  untuk memindahkanmu ke tempatmu. Agar kau jangan menangis lagi di hadapan Yesusku melalui diriku. Aku kini mempatenkanmu sebagai ”perusak” bagi kaum adam dan hawa di jagat ini. Tak ada belas kasihan dariku untukmu selama aku masih berkelana di dunia ini. Sudah habis total semua kesabaranku yang selama ini aku pendamkan, dan kini aku akan menantikan rencanamu yang lain lagi; sebab kau tak kehabisan akal dan aku pun tak kehabisan amunisi yang dari Yesusku.

Kau harus tahu bahwa tulisanku ini bukanlah sebuah permainan kata-kata yang aku sajikan sebagai pemanis blogku. Tapi ini sesungguhnya adalah langkah awal dari perjuanganku untuk kembali menerima kepercayaanku pada Yesus yang telah kau pindahkan dari jalanku dengan cara melemahkan imanku. Wahai iblis; kau sangat cerdik namun kau tak beriman dalam Kristus. Kau iri dengan kelemahanku yang aku bangun bersama Yesus Kristusku selama ini. Amin

Jumat, 17 Februari 2012

Keraguanmu adalah Pendongkrak Tekadku

Untukmu wahai teka-teki negeri keindahanku:
Kulitku tertusuk angin yang berhembus seketika melalui nyanyian rindu yang kian mendesah dan semakin mendepakkan. Aku tak sengaja menoleh kearah potretmu yang terpampang jelas pada korneaku. Sehingga hatiku yang sejak dahulu sedang dibekukan mulai mencair tanpa perlu dapur peleburan. Aku mulai memaksa semua panca inderaku untuk bergerak seirama demi sasaran yaitu dirimu. Darahku mengalir tidak karuan bahkan hendak menembus ariku. Tertekan dan tertegun dalam rohaniku ketika mengenalmu. Kau melemahkanku dalam segala hal bahkan kejahatanku kau bersihkan tanpa kesadaranmu. 
Bagai malaikat penghapus dosa, kau hadir tanpa undangan, kau tampil sebagai sosok yang nampak berkilauan. Kau merubah semua yang aku anggap benar dahulu, karena kau tahu itu kekeliruanku yang salah dan yang selama ini aku dekapkan dalam taman jiwaku. Kau memang tak menyadarinya, kau tentu tak mengerti, kau pasti tak mempedulikan semua perubahan yang terjadi dalam jejak-jajak hidupku. Kau akan menganggap diriku sebagai seorang pendusta yang pandai merangkai kata menjadi kalimat, kau membiarkan diriku berkelana dalam untaian-untaianku, kau sengaja namun aku tak kebetulan. Kau memang tak tersentuh oleh jemariku yang penuh dosa ini, namun kau telah aku bungkus dalam genggaman doaku, jadi biarlah Yesus yang menetukan. Aku bukan pendoa yang berfokus seperti dirimu, aku tidak mengerti tujuan doaku, aku selalu meragukan doaku sebab ketika aku berdoa untukmu di hadapanNYA, namun hatiku masih sempat bertanya; Tampankah diriku? Berhartakah diriku? Sempurnakah doaku? Diterimakah doaku? Sembari berlutut aku berkata ”aku hanyalah budak yang siap kalah dalam segala hal namun aku tak pernah membiarkan kemenanganku dicuri”.
Aku tahu dan aku sering mendengar kelumrahan ungkapan bijak para pakar asmara bahwa ”mencintai tidak harus memiliki” tapi aku yang belum paham tentang asmara pun dapat mematenkan ungkapan metafora kritikku bahwa ”mencintai tidak harus memiliki dan bila memiliki maka tidak harus mencintai?” Hanya kau yang dapat menaruh posisi ungkapanku yang menurutku demikian adanya. Aku tetap menganggap diriku adalah manusia bersalah yang punuh dengan kejujuran sejati; dan tak akan terkelupas oleh jaman. Lupakanlah aku disaat kau sedih dan ingatlah rupaku disaat kau senang, karena aku bukanlah manusia yang selalu mengikuti kebiasaan asmara dunia ini, meski aku hidup di alam yang sama. Aku punya cerita asmara berbeda dari ayah dan ibuku demikianlah berbeda pula dengan kedua orang tuamu. Hatiku terbentuk oleh kuasaNYA, demikianlah juga dengan semua anggota tubuhku yang saling bekerja sama demi hal baik dan jahat.
Wahai dewiku, pujaan hatiku, kau merusak prinsip salahku, kaulah yang pertama aku ”tembak/ katakan cinta” namun aku tak akan katakan kalau kaulah yang terakhir bagiku sebab hanya dirimu yang mampu menjawabnya. Aku bukanlah pakar asmara yang memainkan kelumrahan cinta lalu mencari lagi demi tujuan yang sama. Lebih baik penglihatanku tak beroperasi lagi dari pada menomorduakanmu.
Chard Colgate Walli, Yoka, Sabtu, 18 Februari 2012

Minggu, 05 Februari 2012

"Menempuh Arah Sembari Menyeret Tanya"

Aku ingin terbang semakin tinggi, bahkan melayang tanpa kembali berpijak. Aku ingin berkelana jauh, bahkan melupakan telapak awal di tapak berdebu. Aku berjuang mendaki ketinggian curam meski bertangga. Aku hendak mencapai puncak namun hembusan angin mendorong tebalnya awan dengan seenaknya, akhirnya terlihat suatu ketinggian yang harus aku daki lagi. Aku tundukan kepala sejenak sambil bertanya kepada diriku, mengapa aku harus mendaki pada bongkahan yang berketinggian tak pasti ini, meski aku adalah manusia pertama yang menembus keganasannya?
Aku mengangkat kepala lalu aku melihat ketinggian yang mulai nampak, bahkan hampir mematahkan niatku. Putus asa sempat melingkari semangatku dan hendak meremukkan kerja kerasku. Aku menatap ke arah tertinggi, ke tempat yang mampu tertangkap oleh indera penglihatanku. Aku tahu kalau ketinggian itu tak berujung dan tak memiliki akhir. Dengan emosi yang tercampur bersama peluh, aku mulai mencoba menyeret keberatanku yang sejak tadi tersenyum melukaiku. Selangkah manaiki ketinggian, hatiku mulai melemah sembari melanjutkannya. Aku tahu bahwa aku sedang dalam tujuan yang mengganaskan. Aku menyadari kekuatanku yang terbatas.
Aku tak mau melihat ke atas lagi, biarlah aku mendaki sambil menundukan kepala. Dan meraih semua yang aku impikan dan khayalkan. Aku tak mempedulikan para pemeran pesaing, yang sejak awal menggerogotiku dengan kebiasaan mereka. Aku tak pernah memanggil mereka untuk bertarung denganku, karena aku tak segagah dan sehebat perkiraan. Aku hanya ingin menyelesaikan pendakian dan berdiri bersama yang lain, sehingga tak ada perbedaan yang dapat melumpuhkan kekurangan bersama. Aku tak menghargai kemunafikan hati mereka yang dipertontonkan melalui senyuman dukungan palsu. Aku menangis dalam tawa, teriris semakin dalam dan sempat menyentuh tulangku, aku bagaikan sasaran di hadapan mereka. Padahal aku adalah lambang kelemahan manusia gundah!.  Aku hanyalah manusia sederhana yang tak mau di samakan dengan yang lain. Aku tetap mengedepankan kekuranganku dalam mendaki. Agar tak ada yang berani menantangku, sebab dengan kelebihan apakah dapat aku di saingkan?.
Semakin aku mendaki lebih tinggi, namun belum juga aku mendapatkan sesuatu yang melegakan. Namun aku tak akan mengangkat kepalaku sampai aku merasakan sendiri kepuasaan sejati. Aku tetap mendaki dan terus mendaki, sebab banyak hal yang aku nikmati ketika sedang mendaki. Dan semuanya adalah santapan yang tertelan utuh melalui kerongkongan tekadku. Aku membiarkan diriku bergerak sepuasnya agar aku mengerti kekuatanku. Aku sesaat merasakan puas dengan pendakianku meski belum mendapati puncaknya. Aku tersenyum sambil menatap bebanku yang sedang terseret. Aku tahu bahwa pendakianku yang lama sejak lampau ini pasti akan menemukan kesempurnaan kelak.