Telusuri Semua Hal

Minggu, 05 Februari 2012

"Menempuh Arah Sembari Menyeret Tanya"

Aku ingin terbang semakin tinggi, bahkan melayang tanpa kembali berpijak. Aku ingin berkelana jauh, bahkan melupakan telapak awal di tapak berdebu. Aku berjuang mendaki ketinggian curam meski bertangga. Aku hendak mencapai puncak namun hembusan angin mendorong tebalnya awan dengan seenaknya, akhirnya terlihat suatu ketinggian yang harus aku daki lagi. Aku tundukan kepala sejenak sambil bertanya kepada diriku, mengapa aku harus mendaki pada bongkahan yang berketinggian tak pasti ini, meski aku adalah manusia pertama yang menembus keganasannya?
Aku mengangkat kepala lalu aku melihat ketinggian yang mulai nampak, bahkan hampir mematahkan niatku. Putus asa sempat melingkari semangatku dan hendak meremukkan kerja kerasku. Aku menatap ke arah tertinggi, ke tempat yang mampu tertangkap oleh indera penglihatanku. Aku tahu kalau ketinggian itu tak berujung dan tak memiliki akhir. Dengan emosi yang tercampur bersama peluh, aku mulai mencoba menyeret keberatanku yang sejak tadi tersenyum melukaiku. Selangkah manaiki ketinggian, hatiku mulai melemah sembari melanjutkannya. Aku tahu bahwa aku sedang dalam tujuan yang mengganaskan. Aku menyadari kekuatanku yang terbatas.
Aku tak mau melihat ke atas lagi, biarlah aku mendaki sambil menundukan kepala. Dan meraih semua yang aku impikan dan khayalkan. Aku tak mempedulikan para pemeran pesaing, yang sejak awal menggerogotiku dengan kebiasaan mereka. Aku tak pernah memanggil mereka untuk bertarung denganku, karena aku tak segagah dan sehebat perkiraan. Aku hanya ingin menyelesaikan pendakian dan berdiri bersama yang lain, sehingga tak ada perbedaan yang dapat melumpuhkan kekurangan bersama. Aku tak menghargai kemunafikan hati mereka yang dipertontonkan melalui senyuman dukungan palsu. Aku menangis dalam tawa, teriris semakin dalam dan sempat menyentuh tulangku, aku bagaikan sasaran di hadapan mereka. Padahal aku adalah lambang kelemahan manusia gundah!.  Aku hanyalah manusia sederhana yang tak mau di samakan dengan yang lain. Aku tetap mengedepankan kekuranganku dalam mendaki. Agar tak ada yang berani menantangku, sebab dengan kelebihan apakah dapat aku di saingkan?.
Semakin aku mendaki lebih tinggi, namun belum juga aku mendapatkan sesuatu yang melegakan. Namun aku tak akan mengangkat kepalaku sampai aku merasakan sendiri kepuasaan sejati. Aku tetap mendaki dan terus mendaki, sebab banyak hal yang aku nikmati ketika sedang mendaki. Dan semuanya adalah santapan yang tertelan utuh melalui kerongkongan tekadku. Aku membiarkan diriku bergerak sepuasnya agar aku mengerti kekuatanku. Aku sesaat merasakan puas dengan pendakianku meski belum mendapati puncaknya. Aku tersenyum sambil menatap bebanku yang sedang terseret. Aku tahu bahwa pendakianku yang lama sejak lampau ini pasti akan menemukan kesempurnaan kelak.