Aku
ingin terbang semakin tinggi, bahkan melayang tanpa kembali berpijak. Aku ingin
berkelana jauh, bahkan melupakan telapak awal di tapak berdebu. Aku berjuang
mendaki ketinggian curam meski bertangga. Aku hendak mencapai puncak namun
hembusan angin mendorong tebalnya awan dengan seenaknya, akhirnya terlihat
suatu ketinggian yang harus aku daki lagi. Aku tundukan kepala sejenak sambil
bertanya kepada diriku, mengapa aku harus mendaki pada bongkahan yang berketinggian
tak pasti ini, meski aku adalah manusia pertama yang menembus keganasannya?
Aku
mengangkat kepala lalu aku melihat ketinggian yang mulai nampak, bahkan hampir
mematahkan niatku. Putus asa sempat melingkari semangatku dan hendak meremukkan
kerja kerasku. Aku menatap ke arah tertinggi, ke tempat yang mampu tertangkap
oleh indera penglihatanku. Aku tahu kalau ketinggian itu tak berujung dan tak
memiliki akhir. Dengan emosi yang tercampur bersama peluh, aku mulai mencoba
menyeret keberatanku yang sejak tadi tersenyum melukaiku. Selangkah manaiki
ketinggian, hatiku mulai melemah sembari melanjutkannya. Aku tahu bahwa aku
sedang dalam tujuan yang mengganaskan. Aku menyadari kekuatanku yang terbatas.
Aku
tak mau melihat ke atas lagi, biarlah aku mendaki sambil menundukan kepala. Dan
meraih semua yang aku impikan dan khayalkan. Aku tak mempedulikan para pemeran
pesaing, yang sejak awal menggerogotiku dengan kebiasaan mereka. Aku tak pernah
memanggil mereka untuk bertarung denganku, karena aku tak segagah dan sehebat
perkiraan. Aku hanya ingin menyelesaikan pendakian dan berdiri bersama yang
lain, sehingga tak ada perbedaan yang dapat melumpuhkan kekurangan bersama. Aku
tak menghargai kemunafikan hati mereka yang dipertontonkan melalui senyuman
dukungan palsu. Aku menangis dalam tawa, teriris semakin dalam dan sempat
menyentuh tulangku, aku bagaikan sasaran di hadapan mereka. Padahal aku adalah
lambang kelemahan manusia gundah!. Aku
hanyalah manusia sederhana yang tak mau di samakan dengan yang lain. Aku tetap
mengedepankan kekuranganku dalam mendaki. Agar tak ada yang berani menantangku,
sebab dengan kelebihan apakah dapat aku di saingkan?.
Semakin
aku mendaki lebih tinggi, namun belum juga aku mendapatkan sesuatu yang
melegakan. Namun aku tak akan mengangkat kepalaku sampai aku merasakan sendiri
kepuasaan sejati. Aku tetap mendaki dan terus mendaki, sebab banyak hal yang aku
nikmati ketika sedang mendaki. Dan semuanya adalah santapan yang tertelan utuh
melalui kerongkongan tekadku. Aku membiarkan diriku bergerak sepuasnya agar aku
mengerti kekuatanku. Aku sesaat merasakan puas dengan pendakianku meski belum
mendapati puncaknya. Aku tersenyum sambil menatap bebanku yang sedang terseret.
Aku tahu bahwa pendakianku yang lama sejak lampau ini pasti akan menemukan kesempurnaan
kelak.