Hari
ini sangat panas dan melelahkan bagiku, namun di hari Jumat pada
tanggal 29 Juni 2012 ini aku menemukan sosoknya lagi. Dia, wanita yang
selalu menjadi fokus karya metaforaku. Dia, yang sempat aku cari-cari
sebelumnya di dalam gudang cintaku. Dia, yang mungkin aku khayalkan. Dia
wanita baik bagiku, dan semua orang tentu berkata hal yang sama. Namun
aku hanyalah seorang penggemar yang belum mahir dan belum tahu,
bagaimana caranya membuat hati idola tetap terhibur? Aku masih bodoh
dalam hal itu, sebab pengalaman belum sempat mengajariku. Aku bertahan
dengan kekolotanku dan berharap sesuatu yang tak pasti. Aku tak
menemukan keindahan dari sebuah asmara sebab keindahan wanita ini mampu
melupakan asmaraku. Kesederhanaannya membuatku berpikir berkali-kali
untuk mendekatinya, sebab aku tak boleh serakah dalam tindakan. Aku
harus menahan diri demi sesuatu yang tak jelas arahnya.
Ketika
aku pulang dari atap akademisku, aku bertemu dia/ wanita di sebuah
persimpangan jalan. Mengapa aku harus bertemu dia lagi, padahal aku
selalu berjuang agar aku terhindar dari dirinya. Aku hanya mau bertemu
dirinya diantara syairku, aku hanya ingin bercerita bersama dirinya di
dalam mimpi indahku, aku selalu menunggu dirinya di dalam semua sketsa
lelapku, ya memang aku sejujurnya hanya ingin seperti demikian. Aku tak
berpikir lebih dari dirinya, sebab itu salah bagi lelaki seperti aku
ini. Aku harus berkaca pada cermin setiap detik agar aku mengerti
kekuranganku. Aku jangan sembrono sebelum memulainya sebab akhir dari
sebuah cerita lebih memprihatinkan dibanding awal cerita yang penuh
dengan tanda tanya. Aku lebih memilih untuk menghilang dari wajahnya
untuk selamanya namun mengapa harapanku ini selalu gagal? Apakah aku
telah salah untuk melintasi jalan itu, sehingga bertemu dirinya, apakah
aku harus mencari jalan lain, apakah aku harus pulang tengah malam agar
tersembunyi dari dirinya, apakah aku harus menutup mata sembari
berjalan, apakah aku harus mengagetkan dirinya disaat yang tak
diinginkannya? Aku semakin serba salah. Ataukah aku sendiri yang menanam
benih cinta ini lalu aku sendiri yang menikmati kehampaannya? Mungkin
aku harus menyusun satu demi satu dari semua teki-teki yang berhamburan
di lantai gudang cintaku, sehingga terciptalah bentuk yang mungkin
menyenangkan perasaanku. Atau mungkin pula, aku harus berdiam diri dan
tak lagi mengurai metaforaku. Sulit sekali rasanya, untuk menghentikan
jemariku ini sebab naluriku sudah terlanjur merekam dirinya dan rekaman
itu susah terhapuskan dari memoriku. Semuanya semakin sulit padahal aku
ingin berhasil untuk hal asmaraku sebab asmaraku sangat tabu. Aku tak
mau asmaraku bertebaran di tanah yang gersang namun aku tak menolak bila
asmaraku ditelantarkan bak anak ayam yang sengaja dipisahkan dari
induknya untuk selamanya. Meski aku orang sederhana namun aku tak mau
memiliki sesuatu yang gampang sifatnya. Aku hanya ingin menulis dan
menulis meski itu membuang waktu namun kosa kata semakin berdesakkan
dalam kotak persediaanku.
Saat aku mengayuh sepedaku dengan
santai setelah bertempur dengan aktifitas di atap akademisku, aku
bertemu wanita itu namun aku terlebih dahulu mendapatkan seekor anak
kucing yang malang. Kucing kecil ini berdiri sendirian karena tak ada
pemiliknya, anak kucing ini berjuang menapaki hidup sendirian sebab di
dekatnya tak ada ibunya. Dia sendiri, sungguh hal ini menyentuh hatiku
sebab kucing kecil ini menangis namun entah siapa yang akan mengobati
kesedihannya? Aku kemudian berhenti mengayuh sepedaku dan melihat dari
dekat. Ternyata hatiku mengeluarkan perasaan memiliki yang berkecamuk
sehingga aku dengan secepatnya mencari akal agar dapat memboyong si anak
kucing tersebut ke rumahku. Lalu aku mendapatkan kantong plastik,
setelah itu aku membungkusnya dan menaruhnya di dalam tas yang aku
pikul. Meski di dalam tasku ada lembaran-lembaran kertas yang sangat
penting namun aku tahu bahwa anak kucing malang itu pun sama pentingnya.
Maka, anak kucing malang itu harus berada bersama-sama dengan bahan
pengetahuan akademisku di dalam tasku. Beberapa menit kemudian setelah
menghindar dari posisi penemuan anak kucing itu, dengan santai lagi aku
mengayuh sepedaku. Tiba-tiba aku kaget dan hampir jatuh oleh kehadiran
wanita sederhana yang selalu menghiasi semua sudut syairku. Wanita ini
membuatku gugup di atas sepedaku sendiri, kehadirannya yang singkat
dengan menggunakan ojek mengakibatkan aku lupa bagaimana caranya
mengayuh sepedaku, sehingga aku hampir jatuh. Sepedaku berjalan dengan
kecepatan yang semakin melemah sebab aku bingung dengan situasi sehingga
kakiku tak bergairah lagi untuk mengayuhnya. Dia tersenyum padaku dan
aku berprasangka aneh, seolah-olah situasi ini bagaikan di dalam bunga
tidurku, yang biasanya. Namun ternyata ini nyata. Dan memang sedang
terjadi dipersimpangan jalan.
Matanya yang sempat melirik
dengan penuh harapan untuk meyakinkan apakah betul sang pengayuh sepeda
adalah diriku? Mata itu pun beralih dan menatap ke arah bukit tandus
setelah dia tahu bahwa itu diriku yang menjengkelkan dan meresahkannya.
Dia mengalihkan pandangannya dari diriku dan mengarahkanya ke bukit
namun perasaannya tak mau beralih dari “lelaki bodoh yang sedang
mengayuh sepedanya”. Tentu saja hatinya mengumpulkan semua
pecahan-pecahan tentang diriku lalu menyatukannya dengan gesitnya. Aku
tahu bahwa dia sedang bertanya dan berkata-kata dalam hatinya dengan
caranya. Aku tak mau tahu soal pemikirannya terhadapku sebab aku
hanyalah pengganggu yang selalu acuh dengan larangannya. Semuanya tidak
boleh dibenarkan namun hal ini bukanlah kebetulan. Cinta kadang
menganggu pikiranku, asmara kadang melupakan jati diriku tapi cinta dan
kasih sayang harus aku temukan meski membutuhkan waktu yang panjang.
Biarlah waktuku habis oleh penantian ini, agar cintaku tak menjadi
cerita palsu yang terlupakan. Asmaraku bukanlah soal perjuangan atau pun
soal pengorbanan. Yang terpenting adalah proses untuk meraih sasaran,
karena kelak pengalaman akan melebihi keaslianku yang seadanya saat ini.
Yoka.in my familyroom.Minggu,1 Juli 2012.CCW/ Kalembulu (lelaki terbodoh yang penuh kekurangan)