Jangan
Ya “stop”
Aku kini
sudah mulai berani untuk menertawakan semua orang yang sengaja menjatuhkan nama
baik negeriku atau bangsaku. Ingin rasanya meludahi kerongkongan dusta yang
sudah sejak lama mereka lakonkan. Kemunafikan dalam memutarbalikan fakta sudah
sangat menggelitik hatiku, sejak kedewasaan menghapus jejak-jejak kekanak-kanakanku.
Hahahahaha; itu suara gelatakku yang tersembur keluar dari hati bodohku,
bagaikan orang gila aku terus berdiri di atas kebenaran dari realita kehidupan
sekarang.
Berpikir
tanpa bertindak hanyalah membuang waktu yang singkat namun tak boleh abaikan
mutu. Jangan memandang manusia dengan mata badani tetapi dari kenekatan
bertindak, sebab mata mampu melihat tampilan yang mengoda namun hati tahu bahwa
bau busuk yang berterbangan di udara adalah wewangian yang menyengat penciumanku.
Ini hanya
awal dari tingkahku yang bodoh tapi lebih dari itu; aku tahu bahwa para pakar
pandai akan menilai seenaknya pada diriku. Untuk apa aku hidup, kalau hanya
membela orang-orang kuat yang selama ini beria-ria di balik topeng kemunafikan
mereka.
Lebih baik
aku tak terlahir untuk warga lokalku dari pada aku harus bertahan hidup bersama
para manusia 'imigrasi'. Sampai detik ini, aku hanyalah orang bodoh yang adalah
seorang budak kampungan, namun dengan kesederhanaan berpikirku, aku akan
mengeluarkan nyanyian-nyanyian penggetar jiwa. Tak perlu untuk berdiri dan
berteriak bagaikan anak kecil yang selalu diiming-iming dengan gula-gula yang
di lapisi empedu. Mengapa bertingkah ganas dan buas sedangkan kembali menjilat
lagi?
Wahai
Imigrasi
Ah, hatiku
dan pikiranku pasti dipersalahkan sebab kata para imigrasi: “Chard berhentilah
berlaku aneh dan pikirkanlah masa depanmu sebab kau perlu belajar banyak”
padahal masa depanku hanyalah kesenanganku dan kesungguhan dari keaslianku
adalah ketika aku berbicara kebenaran. Ya, kebenaran tidak pernah menuntut pengetahuan
sebagai landasan. Tak perlu berapa harga yang harus dibayar, sebab aku adalah
diriku dan sama seperti Chard Walli. Aku sangat puas dengan kesederhanaanku,
karena aku akan melupakan ketidakmampuanku dalam berterus terang; sebab aku
memang sama dengan mereka namun aku tak mau berpikir sesederhana mereka.
Aku yakin
dengan tulisanku ini, dan aku menyadari kebodohanku dalam mengatur ungkapan,
namun keunikan demi menata kata-kata dalam beberapa kalimatku mampu menciptakan
karya baru dalam bidang “berpandangan/ berpenilaian”. Bahkan sudah paten
sebelum aku tuangkan.
Apa alasanmu
wahai imigrasi, sehingga kau terus mengejarku dengan tuduhan yang tetap? Apakah
aku merusak niatmu? Apakah aku telah mengalahkanmu dengan kebodohanku yang tak
terpelajar ini? Mengapa aku selalu ditempatkan pada posisi yang terpojokkan? Mengapa
aku terbelakang dalam berpengetahuan namun kau masih iri dengan
sentuhan-sentuhan kecil ala kekolotanku? Ternyata kau telah mengakui keaslianku
yang selama ini menggemaskan matamu. Aku sudah berusaha untuk mengerti tentang
pembelaan dirimu yang selama ini sedang kau telusuri. Tak sadarkah kau bahwa
kau hanyalah penumpang yang meminjam semua milikku demi melanjutkan napasmu? Namun
sejak aku menjadi benih dalam kandungan ibuku, aku sudah sangat tahu bahwa
sesungguhnya kau hanyalah seorang imigrasi di bangsaku.