Untukmu wahai teka-teki negeri keindahanku:
Kulitku tertusuk angin yang berhembus
seketika melalui nyanyian rindu yang kian mendesah dan semakin mendepakkan. Aku
tak sengaja menoleh kearah potretmu yang terpampang jelas pada korneaku.
Sehingga hatiku yang sejak dahulu sedang dibekukan mulai mencair tanpa perlu
dapur peleburan. Aku mulai memaksa semua panca inderaku untuk bergerak seirama
demi sasaran yaitu dirimu. Darahku mengalir tidak karuan bahkan hendak menembus
ariku. Tertekan dan tertegun dalam rohaniku ketika mengenalmu. Kau melemahkanku
dalam segala hal bahkan kejahatanku kau bersihkan tanpa kesadaranmu.
Bagai malaikat penghapus dosa, kau hadir
tanpa undangan, kau tampil sebagai sosok yang nampak berkilauan. Kau merubah
semua yang aku anggap benar dahulu, karena kau tahu itu kekeliruanku yang salah
dan yang selama ini aku dekapkan dalam taman jiwaku. Kau memang tak
menyadarinya, kau tentu tak mengerti, kau pasti tak mempedulikan semua
perubahan yang terjadi dalam jejak-jajak hidupku. Kau akan menganggap diriku
sebagai seorang pendusta yang pandai merangkai kata menjadi kalimat, kau
membiarkan diriku berkelana dalam untaian-untaianku, kau sengaja namun aku tak
kebetulan. Kau memang tak tersentuh oleh jemariku yang penuh dosa ini, namun
kau telah aku bungkus dalam genggaman doaku, jadi biarlah Yesus yang menetukan.
Aku bukan pendoa yang berfokus seperti dirimu, aku tidak mengerti tujuan doaku,
aku selalu meragukan doaku sebab ketika aku berdoa untukmu di hadapanNYA, namun
hatiku masih sempat bertanya; Tampankah diriku? Berhartakah diriku? Sempurnakah
doaku? Diterimakah doaku? Sembari berlutut aku berkata ”aku hanyalah budak yang
siap kalah dalam segala hal namun aku tak pernah membiarkan kemenanganku dicuri”.
Aku tahu dan aku sering mendengar kelumrahan
ungkapan bijak para pakar asmara bahwa ”mencintai tidak harus memiliki” tapi
aku yang belum paham tentang asmara pun dapat mematenkan ungkapan metafora
kritikku bahwa ”mencintai tidak harus memiliki dan bila memiliki maka tidak
harus mencintai?” Hanya kau yang dapat menaruh posisi ungkapanku yang menurutku
demikian adanya. Aku tetap menganggap diriku adalah manusia bersalah yang punuh
dengan kejujuran sejati; dan tak akan terkelupas oleh jaman. Lupakanlah aku disaat
kau sedih dan ingatlah rupaku disaat kau senang, karena aku bukanlah manusia
yang selalu mengikuti kebiasaan asmara dunia ini, meski aku hidup di alam yang
sama. Aku punya cerita asmara berbeda dari ayah dan ibuku demikianlah berbeda
pula dengan kedua orang tuamu. Hatiku terbentuk oleh kuasaNYA, demikianlah juga
dengan semua anggota tubuhku yang saling bekerja sama demi hal baik dan jahat.
Wahai dewiku, pujaan hatiku, kau merusak
prinsip salahku, kaulah yang pertama aku ”tembak/ katakan cinta” namun aku tak
akan katakan kalau kaulah yang terakhir bagiku sebab hanya dirimu yang mampu
menjawabnya. Aku bukanlah pakar asmara yang memainkan kelumrahan cinta lalu
mencari lagi demi tujuan yang sama. Lebih baik penglihatanku tak beroperasi
lagi dari pada menomorduakanmu.
Chard Colgate Walli, Yoka, Sabtu, 18 Februari
2012